Studi Kasus PHK Karyawan PT SCI Yogyakarta

Jumat, 16 September 2011 saya membaca koran kedaulatan rakyat, dan menemukan berita yang menarik disudut kanan bawah pada hal. 21. Berita tersebut berhubungan dengan permasalahan hubungan industrial di suatu perusahaan. Dituliskan bahwa salah seorang karyawan telah menerima surat PHK (pemutusan hubungan kerja) dari perusahaan tempat dia bekerja. PT SCI melalui managernya mengeluarkan surat dengan nomor 001/SCI/KARY/PEMB-YK/IX/2011 tertanggal 13 September 2011. Alasan pengeluaran surat tersebut dipaparkan oleh pihak SCI karena karyawan bersangkutan tidak bersedia menandatangani pembaharuan kontrak dan dianggap tidak mengikuti peraturan perusahaan. Dan dengan dikeluarkan surat tersebut maka sejak tanggal 14 September 2011, karyawan yang bersangkutan tidak diperbolehkan bekerja lagi di PT SCI. Dari perspektif karyawan dituliskan bahwa, karyawan yang berangkutan tidak dapat menerima surat keptusan PHK yang diterimanya tersebut. Hal ini dapat dilihat dengan keinginannya untuk tetap bekerja pada tanggal 14 September 2001, namun ditolak (tidak diperbolehkan masuk area kerja *) oleh pihak perusahaan. Karyawan yang bersangkutan merasa bahwa sudah menjadi karyawan tetap di PT SCI. Yang bersangkutan mulai bekerja di PT SCI sejak 11 September 2008. Dan akhirnya melalui serikat pekerja SBII serta kuasa hukumnya, mereka melaporkan kasus ini ke Dinsosnakertrans kabupaten. Apa yang dilakukan oleh karyawan yang bersangkutan sudah sesuai dengan UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan. Pasal 159 menguraikan bahwa apabila pekerja/buruh tidak menerima pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Sesuai prosedural yang bersangkutan sudah melaporkan kepada serikat pekerja serta kasusnya dibawa ke PHI melibatkan dinsosnakertrans. Dalam menganalisa kasus ini, saya tidak melihat pihak mana yang diuntungkan atau dirugikan. Saya lebih suka menganalisa dalam mendalami fakta-fakta yang bisa dipaparkan secara obyektif dan yuridis. Tanpa mengesampingkan pemaparan dari pihak karyawan yang bersangkutan, disebutkan bahwa di dalam surat PHK tersebut alasan cacatnya surat PHK tersebut karena tidak dituliskan item-item peraturan perusahaan mana yang dilanggar, serta karyawan yang bersangkutan tidak pernah mendapatkan sosialisasi peraturan perusahaan (PP). Ada beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai pertimbangan kasus diatas, antara lain: 1. Dari segi legalitas administrasi perusahaan, keputusan PHK yang dikeluarkan oleh PT SCI hanya berupa surat pemberitahuan atau berbentuk surat keputusan (SK), tentu saja kekuatan legalitasnya bisa berbeda. 2. Dari segi legal contracting, surat keputusan/perjanjian penerimaan karyawan yang bersangkutan ketika diterima di PT SCI secara lisan ataukah tertulis. Apabila legalitasnya tertulis, konten/item-item dari perjanjian tersebut menyebutkan untuk mempekerjakan dengan jangka waktu tertentu ataukah tidak ada. Apabila disebutkan untuk jangka waktu tertentu, berarti karyawan yang bersangkutan adalah karyawan kontrak. Dengan demikian PT SCI, dan kedua belah pihak wajib melakukan pembaharuan kontrak sesuai dengan ketentuan UU No. 13 tahun 2003. Apabila tidak disebutkan jangka waktunya, dapat dikatakan sebagai karyawan tetap PT SCI, meskipun belum didukung dengan surat keputusan (SK) pengangkatan. Namun untuk alasan yang disebutkan terakhir, SK sangat diperlukan. Status karyawan mempengaruhi perhitungan pesangon juga terhadap efek dari kasus PHK. 3. Didalam mengeluarkan surat PHK, maka perusahaan diharuskan se-obyektif mungkin menuliskan alasannya secara detail dengan menunjuk pada point-point peraturan perusahaan yang menjadi dasar dilakukan PHK tersebut. Karena di UU No. 13 tahun 2003 telah menyebutkan seperti itu. 4. Sebelum kita melakukan PHI ke disnaker atau istilahnya tripartite, maka kedua belah pihak diarahkan terlebih dahulu untuk melakukan bipartite, yaitu pembahasan PHI antara perusahaan dengan perwakilan serikat pekerja. Dan hasil dari bipartite tersebut yang nantinya dapat dijadikan dasar ke tahap tripartite. Namun dalam kasus diatas, berita mengenai bipartite tidak dipaparkan. 5. Apapun alasan perusahaan, maka untuk seluruh level kayawan yang bekerja di suatu perusahaan, wajib mendapatkan sosialisasi peraturan perusahaan, secara lisan maupun tertulis. Hal ini menjaga hubungan industrial yang positif antara perusahaan dengan karyawan. Demikian sedikit analisa kasus PHK diatas, semoga membantu saya dalam mengasah kompetensi analitis, serta sebagai learning share bagi kita semua.

2 komentar:

  1. pak rocki perbedaan antara PHK dengan kontrak yang tidak diperpanjang itu apa ya?

    untuk pesangon PHK itu cara perhitungannya seperti apa?apakah pesangon itu wajib ditulis dalam PKWT?

    MOhon pencerahannya...

    BalasHapus
  2. PHK adalah pemutusan hubungan kerja kepada karyawan yang bekerja. istilah PHK lebih dikhusukan kepada karyawan yang berstatus sbg karyawan tetap. Untuk kontrak yang tidak diperpanjang biasanya istilah halusnya pengakhiran masa kontrak bukan PHK. untuk kontrak yg tidak diperpanjang, biasanya perusahaan memiliki pertimbangan2 tersendiri, dan biasanya item-item tentang klausul pengakhiran masa kontrak dicantumkan dlm PKWT, sehingga perusahaan obyektif dlm pengambilan keputusan.

    PHK untuk karyawan tetap, maka perusahaan wajib memberikan pesangon, penghitungan pesangon tertuang dalam UU no 13 tahun 2003 pasal 156 tentang pesangon,disesuaikan dengan masa kerja karyawan yang bersangkutan.
    semoga dpt menjawab,

    BalasHapus