Mengenal Positive Psychological Capital

Positive psychological capital diterjemahkan dalam bahasa indonesia menggunakan istilah kata “modal psikologi positif”.  Positive psychological capital merupakan pendekatan paradigma psikologi positif dalam bidang ilmu psikologi.  Luthan dan Youssef (2007) menuliskan bahwa positive psychological capital merupakan model konseptual dari pendekatan psikologi positif di tempat kerja yang dikenal dari konsep teori positive organizational behavior (POB). POB menurut Luthans (2002) adalah studi dan aplikasi dari kapasitas psikologi dan kekuatan dari sumber daya manusia yang berorientasi secara positif, yang dapat diukur, dikembangkan, dan secara efektif dapat dikelola untuk meningkatkan kinerja di organisasi pada saat ini.

Perkembangan teori POB mulai dikembangkan dari penelitian-penelitian psikologi positif oleh Seligman. Pendekatan konsep psikologi positif yang lebih menitikberatkan untuk mempelajari kekuatan-kekuatan yang dimiliki individu yang dapat dikembangkan untuk mendapatkan kesejahteraan.  Penelitian yang dikembangkan oleh Seligman (2002) mengungkapkan bahwa variabel-variabel dalam psikologi positif yang dituliskannya termasuk kesejahteraan,  kepuasan masa lalu, harapan dan rasa optimis (masa depan), dan kebahagian yang dirasakan (saat ini). Hal tersebut tidak berbeda jauh dengan dengan faktor konstruk dari POB yang diungkapkan oleh Luthan (2002) dalam penelitian-penelitiannya.  POB diungkapkannya mencakup self-confidence, hope, optimism, subjective well-being, resiliency, dan emotional intelligence

Seiring berjalannya perkembangan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Luthan terkait POB, dirumuskan konsep positive psychological capital oleh Luthan, dkk (2005) dimana mengidentifikasikan faktor-faktor kuat yang mempengaruhi positive psychological capital di tempat kerja terdiri dari 4 (empat) komponen, diantaranya self efficacy, hope, optimism dan resiliency.  Luthan dkk (2005)  positive psychological capital adalah faktor dasar psikologis yang secara umum bersifat positif, dan POB merupakan kriteria kumpulan yang terbentuk dari aspek manusia sebagai modal yang tak terbatas dan modal sosial untuk pencapaian persaingan yang menguntungkan sebagai investasi/perkembangan dari konsep diri “siapakah kamu?”

Luthan dkk (2005) menuliskan elemen penting dari pengertian positive psychological capital, salah satunya berdasar dari paradigma pendekatan psikologi positif dimana memandang kekuatan-kekuatan yang dimiliki dalam diri manusia.  Luthan & Youssef (2007) mengungkapkan bahwa positive psychological capital  memiliki kontribusi sebagai konstruk dasar untuk mendukung terbentuknya gagasan-gagasan terkait modal ekonomi/financial, human capital dan social capital.  Financial berkaitan dengan segala sesuatu yang dimiliki seseorang dan segala sesuatu yang dapat bertambah nilainya. Human capital berkaitan dengan segala sesuatu yang seseorang ketahui, atau bisa dilakukannya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.  Social capital berkaitan dengan hubungan interaksi dengan orang lain, sejauhmana individu mengenal orang lain.  Dalam perspektif tersebut positive psychological capital dapat mengarahkan individu untuk mendorong pengembangannya terhadap  apa yang dilakukannya hari ini untuk dapat menjadikan apa yang akan didapatkan di masa depan.

Luthan & Youssef (2007) menuliskan bahwa positive psychological capital secara komprehensif digambarkan pada diri individu yang berkarakteristik (1) memiliki rasa yakin (self efficacy) untuk dapat mengambil setiap kesempatan sebagai bentuk usaha-usaha untuk mencapai kesuksesan didalam tugas yang menantang, (2) mampu menciptakan atribut positif dalam dirinya (optimis) tentang kesuksesan dimasa sekarang dan masa depan, (3) memiliki ketekunan dalam pencapaian tujuan, mampu melihat kesempatan/peluang yang dapat dicapai, memunculkan harapan untuk mencapai keberhasilan, (4) ketika mengalami permasalahan dan berbagai persoalan maka individu mampu mengatasi, dan memecahkan permasalahan tersebut untuk melakukan perubahan dan pencapaian kesuksesan.

Referensi:
Luthans, F., & Youssef, C. M. (2007). Emerging Positive Organizational Behavior. Journal Of  Leadership Institute Faculty Publications. 33 (3), 321-349.
Luthans, F. (2002). The need for and meaning of positive organizational behavior. Journal of Organizational Behavior, 23, 695–706.
Luthans, F., Avolio, B. J., Walumbwa, F. O., & Li, W. (2005). The Psychological Capital of Chinese Workers: Exploring the Relationship with Performance.  Journal Of Management and Organization Review, 1 (2), 249–271.
Seligman, M. (2002).  Authentic Happiness.  Bandung: Mizan.

Analisis Permasalahan Turn Over Karyawan Di Tempat Kerja

Kita sering mendengar istilah turn over karyawan yang terjadi di perusahaan-perusahaan.  Turn over sendiri bermakna keinginan berpindah karyawan dari satu tempat kerja ke tempat kerja  lain.  Karyawan berpindah tempat kerja sebelum mendapatkan masa realisasinya di tempat kerja.  Bisa jadi karyawan keluar meninggalkan tempat kerjanya, bisa pula karyawan mengundurkan diri sebelum merealisasikan masa kesepakatan kerjanya.  Pada dasarnya perilaku turn over karyawan sangat mengganggu dinamika organisasi.  Karyawan sebagai sendi-sendi penggerak roda bisnis perusahaan.  Karyawan merupakan sumber daya penting untuk menopang ritme kinerja perusahaan.  Bisa dibayangkan jika satu komponen roda tersebut hilang, maka akan berpengaruh pada pergerakan dinamika organisasi itu.  Karyawan pergi maka secara otomatis perusahaan harus mencari penggantinya atau memberikan beban dua kali lipat kepada karyawan yang tersedia di dalam organisasinya.
Kasus yang sering saya jumpai perilaku turn over karyawan disebabkan beberapa faktor.   Pada tulisan ini saya akan membahas mengenai faktor sistem.  Karyawan memilih pergi meninggalkan perusahaan dapat disebabkan faktor sistem karir yang tidak sesuai dengan yang diharapkannya.  Hal ini bisa karena keterbatasan sistem jenjang yang dimiliki perusahaan.  Dapat pula tingkat stress yang dialami karyawan karena tidak mampu menerima dan menyesuaikan diri dengan keterbatasan sistem karir yang dikembangkan perusahaan di  tempat kerja.  Secara teoritis diungkap bahwa situasi yang tidak sesuai dengan prediksi seseorang akan karirnya dapat menyebabkan seseorang  stres karena tidak mampu beradaptasi dengan sistem karir yang dihadapi (Higgins, dkk; 2010).  Kondisi tersebut dapat menyebabkan karyawan merasa tidak nyaman, tidak bersemangat, kurang antusias, kurang yakin untuk dapat mengembangkan karirnya, bahkan sering pula dijumpai karyawan yang berpindah-pindah selayaknya “kutu loncat”. 
Sistem karir yang kurang ideal menurut karyawan dapat menyebabkan rasa tidak nyaman untuk  bekerja di perusahaan yang menerapkan sistem karir yang tidak sesuai dengan keinginan karyawan.  Ketidaknyamanan dalam menghadapi sistem karir yang kurang optimal dapat menghambat keberlangsungan karir karyawan dalam bekerja.  Situasi yang seperti itu maka karyawan akan sulit beradaptasi dan akibatnya karyawan tidak mampu bertahan untuk tetap bekerja di perusahaan tersebut.  Oleh karena itu banyak dijumpai kasus-kasus karyawan keluar atau biasa dengan istilah berpindah-pindah (turn over).  
Kasus-kasus yang dijumpai pada karyawan yang sering berpindah-pindah tempat kerja adalah karena masalah kebijakan atasan atau manajemen yang kurang jelas, leadership kurang baik, tawaran gaji lebih tinggi, faktor motivasi, jenjang karir tidak jelas, serta minimnya apresiasi.  Faktor ketidakpuasan seorang karyawan terhadap kebijakan sistem karir juga berpengaruh terhadap perilaku turn over.  Kasus-kasus pada perusahaan yang saya temui, diantaranya ada beberapa karyawan yang merasa tidak puas atas sistem karir yang ada di dalam kebijakan perusahaannya.  Menurutnya bahwa sistem jenjang karir di perusahaan tidak berjalan secara baik, jabatan yang menoton, adanya  penilaian karyawan yang kurang obyektif, pembagian reward yang tidak obyektif, dan ada pula karyawan yang baru bekerja beberapa bulan sudah mendapatkan fasilitas dan jabatan yang strategis yang memunculkan GAP diantara karyawan.
Dari beberapa analisa permasalahan di atas mungkin kita bisa menilai mengapa kita memutuskan keluar maupun berpindah dari tempat kerja kita sekarang.  Hal tersebut merupakan pilihan pribadi karyawan untuk mendapatkan kepuasan dan kenyamanan kerja.  Akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah jika anda memutuskan untuk berpindah, maka anda pun harus melihat etika kerja yang terikat di dalam hubungan industrial.  Alangkah baiknya jika kita sebagai karyawan menyelesaikan realisasi kerja secara terhormat.  Solusi tersebut dapat menyebabkan kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan.  Relasi bisnis tetap terjaga dengan baik untuk masa yang akan datang.

Di sisi lain jika kita melihat dari sudut pandang manajemen perusahan dengan adanya perilaku turn over maka tentu saja akan berdampak negatif bagi image perusahaan.  Perusahaan harus mengeluarkan budget untuk proses rekrutmen karyawan pengganti.  HRD perusahaan pun harus berbenah.  Melandasi sistem perekrutan yang ditunjang dengan sistem karir yang kuat.  Tentu juga harus dibarengi dengan optmalisasi fungsi human capital dalam implementasi sistem manajemen sumber daya manusia (MSDM).  Oleh karena itu sebagai karyawan, bersikap bijaklah dalam memilih dan menentukan tempat kerja anda selanjutnya. 
Referensi:
Higgins, M., Dobrow, S., & Roloff, K. (2010). Optimism and the boundaryless career: The role of developmental relationships. Journal of Organizational Behavior, 31, 749–769. 

Isu Strategik Dalam Perkembangan Human Capital

Isu-isu strategis yang berkembang dalam human capital adalah karyawan sebagai aset bagi perkembangan organisasi.  Peran manajemen SDM semakin berkembang, tumbuh dan meluas serta semakin kritikal dalam strategi dan bisnis.  Karyawan sebagai penggerak dinamika organisasi untuk dapat menciptakan persaingan organisasi. Karyawan sebagai human capital memiliki aspek psikologis yang memiliki kekuatan positif untuk meningkatkan organisasi dan kinerja untuk menuju kesuksesan organisasi .   
Perkembangan manajemen SDM mengarah pada tantangan-tantangan strategis kualitas tenaga kerja. Perusahaan yang memandang pentingnya faktor human capital memiliki sistem pengelolaan SDM dalam melejitkan karir karyawannya.  Hal tersebut memacu motivasi untuk memberikan kinerja optimal sesuai dengan tuntutan organisasi.  Karyawan diharapkan mampu berkarir dengan baik sesuai dengan kinerja yang ditunjukkan. Berkarir dengan performa sesuai dengan potensi dan tuntutan jabatan. Performa dan potensi tersebut mempengaruhi kesuksesan karir di tempat kerja.
Isu-isu penting berkaitan dengan kesuksesan dan karir seseorang dalam pekerjaan adalah keterkaitan faktor kepribadian dan modal psikologis. Karir berkaitan dengan faktor kepribadian yang melekat dalam diri individu. Tantangan-tantangan penelitian yang berorientasi pada psikologi positif di tempat kerja semakin berkembang.  Psikologi positif yang dimaksud sebagai aset terpenting yang dimiliki karyawan dapat berupa keyakinan diri, harapan, optimis dan resiliensi (Luthans, 2002, 2005; Avey, Luthans & Jensen, 2008; Avey, Reichard, Luthans & Mhatre, 2011).  Perlunya  keyakinan, harapan, optimis dan resiliensi dapat dimiliki karyawan untuk menciptakan kinerja yang maksimal (Mortazavi, Yazdi & Amini, 2012). 


Referensi:
Avey, J. B., Luthans, F., & Jensen, S. M. (2008). Psychological Capital: A Positive Resources For Combating Employee Stress And Turnover. The Journal Of  Human Resources Management, 48 (5), 677-693.
Avey, J. B., Reichard R. J., Luthans, F. & Mhatre, K. (2011).  Meta-Analysis Of The Impact Of Positive Psychological Capital On Employee Attitudes, Behaviors, And Performance. Journal Of Human Resources Development Quarterly, 22 (2), 127-152.
Luthans, F. (2002). The need for and meaning of positive organizational behavior. Journal of Organizational Behavior, 23, 695–706.
Luthans, F., Avolio, B. J., Walumbwa, F. O., & Li, W. (2005). The Psychological Capital of Chinese Workers: Exploring the Relationship with Performance.  Journal Of Management and Organization Review, 1 (2), 249–271.
Luthans, F., Avey, J. B, Avolio, B. J., Norman, S. M., & Combs, G. M. (2006). Psychological capital development: toward a micro-intervention. Journal of Organizational Behaviour, 27, 387–393.
Luthans, F., Norman, S. M, & Avolio, B. J., & Avey, J. B. (2008). The Mediating Role of Psychological Capital in the Supportive Organizational Climate – Employee Performance Relationship.  Journal of Organizational Behavior, 1-46.
Mortazavi, S., Yazdi, S. V., & Amini, A. (2012). The Role of the Psychological Capital on Quality of Work Life And organization performance.   Interdisciplinary Journal Of Contempory Research In Business4 (2), 206-217.