Merekrut Karyawan yang Berpotensi : Studi Kasus Perekrutan Account Officer (AO)


Sistem manajemen SDM di perusahaan berjalan secara implementatif mulai dari tahapan strategi perencanaan SDM, pengelolaan SDM, serta pengembangan SDM.  Ketiga tahapan sistem manajemen tersebut dikelola secara struktural oleh HRD.  Jadi secara fungsional peran optimalisasi manajemen SDM dijalankan oleh pilar fungsi HRMS (Human Resources Management System).  
Perencanaan SDM berkaitan dengan kebutuhan, rekrutmen dan seleksi karyawan.  Kebutuhan karyawan didalam organisasi ditentukan oleh pihak manajemen sebagai perencana strategis.  Hal ini menurut Mathis & Jackson (2000: 12) sistem informasi SDM berkaitan dengan proses perencanaan  tersebut menjadi dasar yang paling vital dalam persaingan strategi organisasi dari suatu perusahaan untuk menjaga daya saing organisasi, analisis dan penilaian efektifitas SDM harus dilakukan perusahaan.  Dengan demikian maka organisasi tersebut dapat mencapai tujuannya.
Kasus rekrutmen SDM yang biasa saya jumpai adalah adanya beberapa pertimbangan yang menjadi dasar permintaan kebutuhan karyawan di perusahaan tersebut antara lain, adanya posisi kosong didalam suatu jabatan organisasi, kebutuhan akan  tambahan SDM untuk meningkatkan produktivitas organisasi,  penambahan area pangsa pasar, serta rencana pengembangan organisasi untuk struktur jabatan baru untuk pengembangan bisnis kedepan.  Analisa pertimbangan kebutuhan SDM tersebut merupakan tahapan proses awal perencanaan yang disesuaikan dengan tujuan dan strategi organisasi.   Sistematika tersebut menurut Mathis & Jackson (2000: 49) akan sangat efektif dalam mengintegrasikan antara faktor tujuan & strategi bisnis dengan kebutuhan perencanaan untuk pencapaian strategi tersebut.
Tahapan kedua dalam perencanaan SDM adalah tahap penilaian  akan rencana kebutuhan SDM.  Proses penilaian tersebut yang diterapkan perusahaan yang menjadi mitra kami adalah perekrutan dan seleksi SDM. Dale (2003: 1) mendefinisikan bahwa perekrutan dan seleksi adalah untuk mencapai hasl akhir yang diinginkan, mendapatkan orang yang tepat untuk suatu jabatan.  Proses perekrutan dan seleksi dimulai dari proses job-posting di media, seleksi berkas administrasi, pemanggilan karyawan, dan proses interview baik oleh manajer maupun langsung direksi. 
Metode utama yang dipakai dalam pengukuran proses seleksi karyawan yang saya lakukan tidak hanya hanya menggunakan wawancara saja.  Metode wawancara memang efektif dilakukan sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan diterimanya calon kandidat yang memenuhi kualifikasi.  Hal tersebut belum cukup memberikan penilaian terhadap validitas dan reliabilitas obyektivitas pengukuran pada proses seleksi.  Seperti yang diungkapkan oleh Dale (2003: 1) bahwa  metode yang paling sering dipergunakan yaitu suatu wawancara tatap muka, hanya memiliki koefisien 0,2.  Ditambahkan pula bahwa dengan berpedoman pada metode tersebut berarti ada kemungkinan yang sangat besar untuk memperoleh kandidat yang terbaik.  Oleh karena itu perlu didukung dengan metode lain untuk menunjukkan metode seleksi yang ”terbaik”.  Dale (2003: 1) menuliskan bahwa metode seleksi yang ”terbaik” memiliki koefisien validitas prediktif 0,6.  Hal tersebut memiliki tingkat kemungkinan yang baik untuk memprediksi bahwa kinerja selanjutnya dari masing-masing kandidat akan sesuai dengan kriteria.
Tes Psikologi adalah salah satu metode yang dapat dipakai dalam pengukuran seleksi SDM.  Anastasi & Urbina (2006) menuliskan tes psikologi sebagai alat pengukur yang mempunyai standar obyektif sehingga dapat digunakan secara meluas, serta dapat betul-betul digunakan dan membandingkan keadaan psikis atau tingkah laku individu.  Pengukuran menggunakan metode tes psikologi dalam seleksi SDM penting dilakukan.  Metode tes psikologi merupakan metode yang terstandar yang obyektif.  Metode tes psikologi memiliki tingkat realibilitas dan validitas dalam pengukurannya. 
Melihat dasar pentingnya metode tes psikologi dalam asesmen kebutuhan SDM, maka perlu dilakukan penyelenggaraan tes psikologi sebagai bagian dari keefektvitasan metode seleksi yang komprehensif.  Penyelenggaraan tes psikologi pada kasus ini adalah untuk menemukan kandidat yang berpotensi dan layak mengisi posisi Account Officer (AO).  Metode asesmen kebutuhan seleksi yang komprehensif dapat memberikan obyektifitas pengukuran kompetensi individu sesuai dengan standar kompetensi pada jabatan account officer.  Kandidat yang berpotensi tentu saja memiliki korelasi yang positif untuk dapat mencapai high performance dalam jabatannya.  Manfaat dan tujuan yang akan saya dapatkan adalah:
1.    Memperoleh hasil pengukuran yang sesuai dengan kebutuhan seleksi SDM
2.    Memperoleh gambaran kompetensi individu sesuai dengan standar jabatan organisasi.
3.    Mendapatkan profile kandidat dalam konteks “potential people”.
4.  Merekomendasikan kandidat yang memiliki potensi sesuai dengan standar kompetensi yang dibutuhkan dalam seleksi SDM.

      Aspek-aspek pengukuran kompetensi untuk kasus rekrutmen AO ini, antara lain: kemampuan berpikir analitis, berpikir konseptual dan strategis, kemampuan teknikal AO, ketekunan kerja, motivasi, komunikasi interpersonal, komunikasi persuasif, kemampuan negosiasi, pengambilan keputusan, kerja sama tim, tanggungjawab kerja, kecepatan kerja, ketelitian kerja dan ketahanan kerja.
      Adapun alat tes yang dipakai disesuaiakn dengan kebutuhan komptensi pengukuran diatas, antara lain menggunakan: Tes IST, Papikostik, Tes Warteg, Tes BAUM & DAP, serta Tes Pauli.  Model Penyajian hasil rekrutmen adalh berupa deskripsi (profile) individu yang mengarah pada rekomendasi diterima/tidak untuk posisi account Officer (AO) tersebut.  Contoh: "kandidat memiliki komunikasi yang cukup baik. kandidat mampu membaur dengan orang lain, serta mampu menjalin kerja sama dengan orang lain sehingga mempermudahnya dalam proses penggalian informasi terkait dengan pekerjaannya.  Hal ini didukung sikap keterbukaan dalam berinteraksi dengan lingkungan sosial. Kandidat termasuk seorang yang mampu bersikap fleksibel dalam memberikan pelayanan kepada orang lain.  kandidat mampu menempatkan drinya dengan baik dalam melayani orang lain/customer.  Kandidat mampu menunjukan sikap proaktif dengan  customer  terutama berkaitan dengan tugas pekerjaannya.  Ia mampu memberikan informasi dengan baik yang berkaitan dengan bidang pekerjaaan yang dikuasainya" .  Oleh karena itu dengan potensi kompetensi yang dimiliki kandidat tersebut, maka yang bersangkutan direkomendasikan/disarankan untuk dapat mengisi posisi account officer (AO) sesuai dengan potensi yang terungkap.

Dasar Penerapan Human Capital

Manajemen yang berbasis pada fungsi pengelolaan SDM dikenal dengan konsep manajemen SDM.  Konsep manajemen SDM tidak hanya berfokus pada pengelolaan karyawan secara konvensional namun telah berkembang sejalan dengan fungsi strategis SDM dalam kontribusinya pengembangan organisasi.  Mathis dan Jackson (2000) menuliskan bahwa penelitian-penelitian yang berkaitan dengan manajemen SDM mengarah pada tantangan-tantangan strategis mengenai perekonomian dan perkembangan teknologi, ketersediaan dan kualitas tenaga kerja, kependudukan dan masalah-masalahnya serta restrukturisasi organisasi. 
Optimalisasi organisasi dipengaruhi oleh peran manajemen SDM dalam pencapaian efektifitas dan pencapaian kinerja.  Peran fungsional manajemen SDM, menurut Mathis dan Jackson (2000) berfokus pada produktivitas, kualitas dan pelayanan.  Produktivitas berkaitan dangan peran efektif tenaga kerja dalam pencapaian output kerja.  Kualitas berkaitan dengan barang atau jasa yang dihasilkan untuk jangka panjang.  Pelayanan berkaitan dengan proses pemenuhan tujuan bisnis untuk berkembang jangka panjang.  Orientasi pelayanan mengarah pada kepuasan konsumen maupun pelanggan.
Perusahaan yang  menerapkan tiga pilar fungsi diatas harus mencakup aspek-aspek produktivitas, kualitas dan pelayanan.  Pilar tersebut harus terangkum dalam konsep Human Value guna mengarah pada implementasi Human Capital.  Implementasi Human Capital berprinsip pada "perusahaan memandang pentingnya bahwa karyawan merupakan pondasi bisnis dan karyawan yang membuat bisnis tetap ada serta karyawan mampu melejitkan perkembangan bisnis perusahaan sebagai partner yang strategis dalam berdaya saing".  Proses dinamika organisasi yang berkualitas didukung oleh sumber daya manusia (SDM) yang baik dan kinerja organisasi yang efektif. Setiap perusahaan haruslah memiliki visi dan misi yang strategis untuk mengembangkan tujuan bisnisnya sesuai dengan rancangan jangka panjang yang disusun oleh manajemen maupun stakeholder.  
Didalam pondasi human capital sebagai pondasi bisnis perusahaan memiliki area human asset yang dapat dikelola, diarahkan, dan dikembangkan.  Human Asset tersebut adalah berupa kompetensi yang ada dalam diri karyawan.  Kompetensi diperlukan sebagai bagian dari kemampuan skill dalam menjalankan peran dan tanggungjawabnya.  Kompetensi menjadi faktor utama dalam pengukuran kinerja karyawan.  Kompetensi menjadi dasar implementasi HR division dalam pengelolaan dan pendayagunakan sesuai dengan tuntutan organisasi.  Memberikan fasilitas untuk pengembangan karir karyawan guna menciptakan harmonisasi iklim kompetetif yang positif.  Pengembangan kompetensi karyawan menjadi tanggungjawab organisasi dalam menjalankan ketiga fungsi pilar mencakup produktivitas, kualitas dan pelayanan diatas.  Organisasi memiliki tanggungjawab formal dalam pengembangan kompetensi para karyawannya.  Seperti yang diungkapkan oleh As’ad (2003) bahwa peran SDM sangat penting dalam pencapaian keberhasilan produksi dan efesiensi organisasi dalam pencapaian tujuan organisasi. 
Dengan demikian fungsional HRD salah satunya menselaraskan fungsi manajemen sebagai strategik partner dalam mengoptimalkan Human Asset

Training Sebagai Model Intervensi Untuk Peningkatan Performa Organisasi

Cumming dan Worley (2005) menuliskan bahwa salah satu model intervensi untuk peningkatan efektivitas human process, salah satunya dapat menggunakan model intervensi berupa training and development. Training merupakan salah metode sistematis dalam pengembangan SDM mencakup aspek knowledge, skill, dan attitude. Munandar (2002) mendefinisikan konsep pelatihan sebagai proses pendidikan jangka pendek yang mempergunakan prosedur sistematis dan terorganisir, sehingga tenaga kerja non manajerial mempelajari pengetahuan dan ketrampilan teknis untuk tujuan tertentu.  Cumming dan Worley (2005) mengungkapkan bahwa pelatihan merupakan bentuk intervensi yang dapat digunakan dari hasil diagnose asesmen  kebutuhan untuk meningkatkan performa. 
Ancok (2003) mengungkapkan bahwa training adalah suatu program yang terpadu, sistemik dan tepat yang dapat diimplementasikan bersama-sama bagi seluruh karyawan, dapat meningkatkan kinerja karyawan diperusahaan terkait perilaku.  Suatu program training berjalan efektif dan sistematis apabila sesuai dengan kebutuhan perusahaan untuk diterapkan secara menyeluruh dengan keterlibatan elemen didalamnya.  Ancok (2003) menambahkan bahwa program pelatihan yang terpadu salah satunya dapat diterapkan untuk pembentukan budaya perusahaan.  Ditambahkan bahwa model training yang dimaksud adalah perilaku kerja yang mengacu pada misi, visi, dan nilai organisasi yang mengacu kepada nilai-nilai baru organisasi (kemandirian, keterbukaan, dan integritas).  Tidak hanya berimplemantasi pada aspek human capital, namun program training yang sistematis dan terukur mampu meningkatkan performa kinerja organisasi dalam mencapai target mutu.