Isu Strategis Implementasi K3 Dalam Era Human Capital Saat Ini Untuk Praktisi HSE Officer Dalam Menciptakan Budaya Safety


Penerapan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) sangat penting dilakukan oleh perusahaan.  Tidak memandang perusahaan tersebut dalam skala kecil ataupun skala besar.  Tidak pula dikhususkan untuk kriteria perusahaan tertentu saja semisal jenis usaha kontraktor, proyek, pertambangan, perminyakan, ataupun manufaktur.  Penerapan K3 wajib diterapkan di seluruh jenis usaha dengan dasar aktivitas yang melibatkan interaksi pekerja dengan alat-alat kerja dan atau interaksi dengan lingkungan sekitar yang dapat berpotensi menimbulkan resiko kerja (incident dan accident) terutama menimbulkan bahaya keselamatan dan kesehatan karyawan termasuk kecelakaan kerja.   Dasar aturan tentang K3 pun sudah dituangkan dalam UU No. 1 tahun 1970 tentang keselamatan dan kesehatan kerja.
Pentingnya penerapan K3 di tempat kerja mungkin dewasa ini belum dipahami dengan baik di Indonesia. Kasus-kasus yang sering dijumpai adalah di pembangunan proyek-proyek yang melibatkan para pekerja di dalamnya.  Banyak kita pekerja-pekerja proyek yang masih memandang sebelah mata tentang pentingnya keselamatan kerja bagi dirinya.  Tidak tanggung-tanggung mereka bekerja dengan alat keamanan yang minim.  Bahkan juga terkadang di proyek pembangunan tersebut kita jumpai slogan K3 yang bertuliskan “Utamakan Keselamatan Kerja”, identik dengan warna hijau, ataupun slogan-slogan lainnya yang mengandung unsur keselamatan.  Namun ternyata itupun hanya sebuah tulisan formalitas saja yang tidak dihiraukan oleh pekerja-pekerja di dalamnya.  Masih ada yang bekerja tanpa mengenakan helm untuk area safety helmet, tanpa alas kaki, tanpa tali pengaman, dan lain sebagainya.  Tetapi juga ada satu dua pekerja yang tertib mengenakan alat-alat keamanan demi keselamatan mereka bekerja.  Fenomena tersebut jelas mengundang pertanyaan yang besar bagi orang-orang disekitar?? apakah sistemnya tidak ada? ataukah perilaku pekerjanya?
Tentu saja sistem manajemen keselamatan & kesehatan kerja (SMK3) sangat penting diterapkan di perusahaan-perusahaan. SMK3 tersebut akan menata semua perangkat di dalamnya untuk berperilaku aman.  SMK3 merupakan satu komponen penting untuk menciptakan keselamatan kerja.  Dengan adanya SMK3 maka tingkat resiko bahaya bisa diminimalisir dengan sistematis. 
Di atas sudah dipaparkan juga bahwa SMK3  dimaksudkan untuk menata semua perangkat di dalam perusahaan untuk berperilaku aman.  Namun jika sistem sudah bagus dan perilaku pekerjanya tidak aman, maka itu adalah suatu masalah?  Dengan adanya sistem yang bagus tentu saja kita harus mampu mengarahkan perilaku pekerja untuk menjalankan sistem K3 tersebut.   Contohnya apabila pihak perusahaan sudah membuat sistem penggunaan helm pengaman, dan ternyata masih saja ada yang tidak memakai helm tersebut berarti yang bermasalah adalah perilaku orang tersebut.
Tidak mudah memang menerapkan SMK3 di perusahaan.  Banyak tantangan-tantangan yang harus dihadapi untuk menerapkan SMK3 di perusahaan.  Staf K3 perusahaan atau biasa disebut dengan safety officer (di perusahaan tertentu) harus memiliki kesiapan mental dalam mengahadapi dua tantangan tadi, yaitu menerapkan sistem dan mengarahkan berperilaku aman.  Oleh karena itu kompetensi seorang staf K3 tidak hanya menguasai penerapan SMK3 saja namun harus dibarengi dengan kompetensi persuasif untuk dapat mengajak pekerja berperilaku aman. (lihat training kompetensi SMK3 kami, di sini)
Akan sangat sulit jika staf K3 hanya mengandalkan kemampuan SMK3 saja tanpa mampu menginternalisasikan budaya safety kepada pekerja-pekerja lainnya.  Penerapan K3 di dalam perusahaan melibatkan berbagai unsur pekerja,  Di dalam perusahaan memiliki komite K3 yang bertugas dalam menjalankan aktivitas program K3 secara independen.  Pentingnya keselamatan K3 juga menjadi tanggung jawab seluruh unsur di dalam perusahaan itu. Oleh karena itu seorang safety officer harus mampu melakukan internalisasi budaya keselamatan dalam diri masing-masing karyawan.  Dengan begitu maka budaya safety dapat diterapkan secara positif di dalam masing-masing karyawan.

Paradigma yang harus dibangun saat ini seiring dengan penerapan Human Capital adalah “  safety is value, safety not priority”.  Jika seseorang memiliki nilai-nilai keselamatan dalam dirinya, maka dia tidak akan lagi melihat  alasan-alasannya untuk memakai alat keselamatan.  Itulah mengapa logo K3 Indonesia saat ini mengalami perubahan dengan adanya logo baru K3, baik tampilan gambarnya maupun tulisan jargon-nya. Oleh karena itu, sekarang saatnya katakan dalam diri anda bahwa "Saya Pilih Selamat" sebagai nilai diri (value) berperilaku aman (safety behavior)
Safety is value = safety behavior = budaya aman = zero defect = zero accident

Pentingnya Internalisasi Visi & Misi Perusahaan Kepada Karyawan

Proses pengembangan organisisasi di dalam sebuah perusahaan yang ideal, menurut Robbins (1983) harus memperhatikan faktor budaya organisasi.   Budaya organisasi menjadi nilai penting yang harus diintegrasikan ke dalam masing-masing anggota organisasi dalam mencapai visi dan misi organisasi.  Robbins (1983) menambahkan bahwa sebuah organisasi harus memiliki karakteristik yang dikembangkan di dalam organisasi tersebut dalam pencapaian visi dan misi organisasi. Seperti yang diterapkan di perusahaan-perusahaan yang sudah mengembangkan beberapa nilai-nilai budaya organisasi, diantaranya budaya kerja, budaya disiplin, budaya etika, budaya inovasi, dan budaya belajar.  Nilai –nilai budaya organisasi yang diterapkan oleh masing-masing perusahaan tersebut idealnya harus mampu diinternalisasikan ke dalam diri masing-masing karyawannya agar dapat mengarah terhadap  pencapaian visi & misi perusahaan.  Sehingga efektivitas kinerja SDM menjadi terarah dan optimal.
Permasalahan yang sering saya jumpai  di perusahaan-perusahaan berkembang bahwa  setiap perusahaan memiliki perencanaan terhadap pengembangan bisnis secara terorganisir & terarah, dan berusaha mencapai tujuan dari pengembangan tersebut sesuai dengan arah bisnisnya. Namun proses integrasi visi & misi perusahaan, ke dalam diri karyawan masih kurang optimal.  Dalam hal ini terkait pemahaman dan internalisasi visi & misi organisasi di dalam diri masing-masing karyawan.  Idealnya bahwa organisasi perlu merancang kejelasan sasaran untuk dapat dipahami secara jelas & spesifik serta yang perlu diperhatikan adalah sejauhmana tujuan organisasi tersebut dapat diterima oleh anggota organisasi. Kasus-kasus yang sering terungkap bahwa terdapat karyawan yang tidak mengetahui mengenai visi dan misi perusahaannyaDiantara mereka ada yang  menyebutkan bahwa visi & misi perusahaan dibuat oleh manajemen pimpinan perusahaan.  Karyawan yang kurang paham mengenai visi dan misi perusahaan, biasanya hanya cenderung pernah membaca di company profile perusahaan dan pernah mendengarnya pada saat meeting bersama direksi. Kemudian untuk beberapa karyawan yang tidak mengetahui visi dan misi perusahaan pada umumnya mereka adalah kalangan karyawan level bawah, yang semata-mata bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup bukan untuk mengembangkan perusahaan

Oleh karena itu, pentingnya proses internalisasi visi dan misi perusahaan ke dalam diri karyawan sangat dibutuhkan.  Proses internalisasi dapat dilakukan dengan menanamkan kembali pola pikir kerja yang sejalan dengan nilai budaya organisasi yang mengarah pada pencapaian visi dan misi.  Seluruh elemen organisasi perlu menyadari bersama pentingnya filosofi yang dibangun dibalik visi dan misi perusahaan.  Hal tersebut secara psikologis dapat menumbuhkan insight positif atas internalisasi visi dan misi perusahaan.  Proses internalisasi dapat dioptimalkan melalui visual (campaign), morning meeting, HR Socialiation, komunikasi struktural dan fungsional, lembaga  bipartite, atau model rewarding maupun punishment.

Referensi:
Robbins, S. (1983)  Organizational Behavior. Second Edition. Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, Inc.




Mengenal Positive Psychological Capital

Positive psychological capital diterjemahkan dalam bahasa indonesia menggunakan istilah kata “modal psikologi positif”.  Positive psychological capital merupakan pendekatan paradigma psikologi positif dalam bidang ilmu psikologi.  Luthan dan Youssef (2007) menuliskan bahwa positive psychological capital merupakan model konseptual dari pendekatan psikologi positif di tempat kerja yang dikenal dari konsep teori positive organizational behavior (POB). POB menurut Luthans (2002) adalah studi dan aplikasi dari kapasitas psikologi dan kekuatan dari sumber daya manusia yang berorientasi secara positif, yang dapat diukur, dikembangkan, dan secara efektif dapat dikelola untuk meningkatkan kinerja di organisasi pada saat ini.

Perkembangan teori POB mulai dikembangkan dari penelitian-penelitian psikologi positif oleh Seligman. Pendekatan konsep psikologi positif yang lebih menitikberatkan untuk mempelajari kekuatan-kekuatan yang dimiliki individu yang dapat dikembangkan untuk mendapatkan kesejahteraan.  Penelitian yang dikembangkan oleh Seligman (2002) mengungkapkan bahwa variabel-variabel dalam psikologi positif yang dituliskannya termasuk kesejahteraan,  kepuasan masa lalu, harapan dan rasa optimis (masa depan), dan kebahagian yang dirasakan (saat ini). Hal tersebut tidak berbeda jauh dengan dengan faktor konstruk dari POB yang diungkapkan oleh Luthan (2002) dalam penelitian-penelitiannya.  POB diungkapkannya mencakup self-confidence, hope, optimism, subjective well-being, resiliency, dan emotional intelligence

Seiring berjalannya perkembangan penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Luthan terkait POB, dirumuskan konsep positive psychological capital oleh Luthan, dkk (2005) dimana mengidentifikasikan faktor-faktor kuat yang mempengaruhi positive psychological capital di tempat kerja terdiri dari 4 (empat) komponen, diantaranya self efficacy, hope, optimism dan resiliency.  Luthan dkk (2005)  positive psychological capital adalah faktor dasar psikologis yang secara umum bersifat positif, dan POB merupakan kriteria kumpulan yang terbentuk dari aspek manusia sebagai modal yang tak terbatas dan modal sosial untuk pencapaian persaingan yang menguntungkan sebagai investasi/perkembangan dari konsep diri “siapakah kamu?”

Luthan dkk (2005) menuliskan elemen penting dari pengertian positive psychological capital, salah satunya berdasar dari paradigma pendekatan psikologi positif dimana memandang kekuatan-kekuatan yang dimiliki dalam diri manusia.  Luthan & Youssef (2007) mengungkapkan bahwa positive psychological capital  memiliki kontribusi sebagai konstruk dasar untuk mendukung terbentuknya gagasan-gagasan terkait modal ekonomi/financial, human capital dan social capital.  Financial berkaitan dengan segala sesuatu yang dimiliki seseorang dan segala sesuatu yang dapat bertambah nilainya. Human capital berkaitan dengan segala sesuatu yang seseorang ketahui, atau bisa dilakukannya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.  Social capital berkaitan dengan hubungan interaksi dengan orang lain, sejauhmana individu mengenal orang lain.  Dalam perspektif tersebut positive psychological capital dapat mengarahkan individu untuk mendorong pengembangannya terhadap  apa yang dilakukannya hari ini untuk dapat menjadikan apa yang akan didapatkan di masa depan.

Luthan & Youssef (2007) menuliskan bahwa positive psychological capital secara komprehensif digambarkan pada diri individu yang berkarakteristik (1) memiliki rasa yakin (self efficacy) untuk dapat mengambil setiap kesempatan sebagai bentuk usaha-usaha untuk mencapai kesuksesan didalam tugas yang menantang, (2) mampu menciptakan atribut positif dalam dirinya (optimis) tentang kesuksesan dimasa sekarang dan masa depan, (3) memiliki ketekunan dalam pencapaian tujuan, mampu melihat kesempatan/peluang yang dapat dicapai, memunculkan harapan untuk mencapai keberhasilan, (4) ketika mengalami permasalahan dan berbagai persoalan maka individu mampu mengatasi, dan memecahkan permasalahan tersebut untuk melakukan perubahan dan pencapaian kesuksesan.

Referensi:
Luthans, F., & Youssef, C. M. (2007). Emerging Positive Organizational Behavior. Journal Of  Leadership Institute Faculty Publications. 33 (3), 321-349.
Luthans, F. (2002). The need for and meaning of positive organizational behavior. Journal of Organizational Behavior, 23, 695–706.
Luthans, F., Avolio, B. J., Walumbwa, F. O., & Li, W. (2005). The Psychological Capital of Chinese Workers: Exploring the Relationship with Performance.  Journal Of Management and Organization Review, 1 (2), 249–271.
Seligman, M. (2002).  Authentic Happiness.  Bandung: Mizan.

Analisis Permasalahan Turn Over Karyawan Di Tempat Kerja

Kita sering mendengar istilah turn over karyawan yang terjadi di perusahaan-perusahaan.  Turn over sendiri bermakna keinginan berpindah karyawan dari satu tempat kerja ke tempat kerja  lain.  Karyawan berpindah tempat kerja sebelum mendapatkan masa realisasinya di tempat kerja.  Bisa jadi karyawan keluar meninggalkan tempat kerjanya, bisa pula karyawan mengundurkan diri sebelum merealisasikan masa kesepakatan kerjanya.  Pada dasarnya perilaku turn over karyawan sangat mengganggu dinamika organisasi.  Karyawan sebagai sendi-sendi penggerak roda bisnis perusahaan.  Karyawan merupakan sumber daya penting untuk menopang ritme kinerja perusahaan.  Bisa dibayangkan jika satu komponen roda tersebut hilang, maka akan berpengaruh pada pergerakan dinamika organisasi itu.  Karyawan pergi maka secara otomatis perusahaan harus mencari penggantinya atau memberikan beban dua kali lipat kepada karyawan yang tersedia di dalam organisasinya.
Kasus yang sering saya jumpai perilaku turn over karyawan disebabkan beberapa faktor.   Pada tulisan ini saya akan membahas mengenai faktor sistem.  Karyawan memilih pergi meninggalkan perusahaan dapat disebabkan faktor sistem karir yang tidak sesuai dengan yang diharapkannya.  Hal ini bisa karena keterbatasan sistem jenjang yang dimiliki perusahaan.  Dapat pula tingkat stress yang dialami karyawan karena tidak mampu menerima dan menyesuaikan diri dengan keterbatasan sistem karir yang dikembangkan perusahaan di  tempat kerja.  Secara teoritis diungkap bahwa situasi yang tidak sesuai dengan prediksi seseorang akan karirnya dapat menyebabkan seseorang  stres karena tidak mampu beradaptasi dengan sistem karir yang dihadapi (Higgins, dkk; 2010).  Kondisi tersebut dapat menyebabkan karyawan merasa tidak nyaman, tidak bersemangat, kurang antusias, kurang yakin untuk dapat mengembangkan karirnya, bahkan sering pula dijumpai karyawan yang berpindah-pindah selayaknya “kutu loncat”. 
Sistem karir yang kurang ideal menurut karyawan dapat menyebabkan rasa tidak nyaman untuk  bekerja di perusahaan yang menerapkan sistem karir yang tidak sesuai dengan keinginan karyawan.  Ketidaknyamanan dalam menghadapi sistem karir yang kurang optimal dapat menghambat keberlangsungan karir karyawan dalam bekerja.  Situasi yang seperti itu maka karyawan akan sulit beradaptasi dan akibatnya karyawan tidak mampu bertahan untuk tetap bekerja di perusahaan tersebut.  Oleh karena itu banyak dijumpai kasus-kasus karyawan keluar atau biasa dengan istilah berpindah-pindah (turn over).  
Kasus-kasus yang dijumpai pada karyawan yang sering berpindah-pindah tempat kerja adalah karena masalah kebijakan atasan atau manajemen yang kurang jelas, leadership kurang baik, tawaran gaji lebih tinggi, faktor motivasi, jenjang karir tidak jelas, serta minimnya apresiasi.  Faktor ketidakpuasan seorang karyawan terhadap kebijakan sistem karir juga berpengaruh terhadap perilaku turn over.  Kasus-kasus pada perusahaan yang saya temui, diantaranya ada beberapa karyawan yang merasa tidak puas atas sistem karir yang ada di dalam kebijakan perusahaannya.  Menurutnya bahwa sistem jenjang karir di perusahaan tidak berjalan secara baik, jabatan yang menoton, adanya  penilaian karyawan yang kurang obyektif, pembagian reward yang tidak obyektif, dan ada pula karyawan yang baru bekerja beberapa bulan sudah mendapatkan fasilitas dan jabatan yang strategis yang memunculkan GAP diantara karyawan.
Dari beberapa analisa permasalahan di atas mungkin kita bisa menilai mengapa kita memutuskan keluar maupun berpindah dari tempat kerja kita sekarang.  Hal tersebut merupakan pilihan pribadi karyawan untuk mendapatkan kepuasan dan kenyamanan kerja.  Akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah jika anda memutuskan untuk berpindah, maka anda pun harus melihat etika kerja yang terikat di dalam hubungan industrial.  Alangkah baiknya jika kita sebagai karyawan menyelesaikan realisasi kerja secara terhormat.  Solusi tersebut dapat menyebabkan kedua belah pihak tidak ada yang dirugikan.  Relasi bisnis tetap terjaga dengan baik untuk masa yang akan datang.

Di sisi lain jika kita melihat dari sudut pandang manajemen perusahan dengan adanya perilaku turn over maka tentu saja akan berdampak negatif bagi image perusahaan.  Perusahaan harus mengeluarkan budget untuk proses rekrutmen karyawan pengganti.  HRD perusahaan pun harus berbenah.  Melandasi sistem perekrutan yang ditunjang dengan sistem karir yang kuat.  Tentu juga harus dibarengi dengan optmalisasi fungsi human capital dalam implementasi sistem manajemen sumber daya manusia (MSDM).  Oleh karena itu sebagai karyawan, bersikap bijaklah dalam memilih dan menentukan tempat kerja anda selanjutnya. 
Referensi:
Higgins, M., Dobrow, S., & Roloff, K. (2010). Optimism and the boundaryless career: The role of developmental relationships. Journal of Organizational Behavior, 31, 749–769. 

Isu Strategik Dalam Perkembangan Human Capital

Isu-isu strategis yang berkembang dalam human capital adalah karyawan sebagai aset bagi perkembangan organisasi.  Peran manajemen SDM semakin berkembang, tumbuh dan meluas serta semakin kritikal dalam strategi dan bisnis.  Karyawan sebagai penggerak dinamika organisasi untuk dapat menciptakan persaingan organisasi. Karyawan sebagai human capital memiliki aspek psikologis yang memiliki kekuatan positif untuk meningkatkan organisasi dan kinerja untuk menuju kesuksesan organisasi .   
Perkembangan manajemen SDM mengarah pada tantangan-tantangan strategis kualitas tenaga kerja. Perusahaan yang memandang pentingnya faktor human capital memiliki sistem pengelolaan SDM dalam melejitkan karir karyawannya.  Hal tersebut memacu motivasi untuk memberikan kinerja optimal sesuai dengan tuntutan organisasi.  Karyawan diharapkan mampu berkarir dengan baik sesuai dengan kinerja yang ditunjukkan. Berkarir dengan performa sesuai dengan potensi dan tuntutan jabatan. Performa dan potensi tersebut mempengaruhi kesuksesan karir di tempat kerja.
Isu-isu penting berkaitan dengan kesuksesan dan karir seseorang dalam pekerjaan adalah keterkaitan faktor kepribadian dan modal psikologis. Karir berkaitan dengan faktor kepribadian yang melekat dalam diri individu. Tantangan-tantangan penelitian yang berorientasi pada psikologi positif di tempat kerja semakin berkembang.  Psikologi positif yang dimaksud sebagai aset terpenting yang dimiliki karyawan dapat berupa keyakinan diri, harapan, optimis dan resiliensi (Luthans, 2002, 2005; Avey, Luthans & Jensen, 2008; Avey, Reichard, Luthans & Mhatre, 2011).  Perlunya  keyakinan, harapan, optimis dan resiliensi dapat dimiliki karyawan untuk menciptakan kinerja yang maksimal (Mortazavi, Yazdi & Amini, 2012). 


Referensi:
Avey, J. B., Luthans, F., & Jensen, S. M. (2008). Psychological Capital: A Positive Resources For Combating Employee Stress And Turnover. The Journal Of  Human Resources Management, 48 (5), 677-693.
Avey, J. B., Reichard R. J., Luthans, F. & Mhatre, K. (2011).  Meta-Analysis Of The Impact Of Positive Psychological Capital On Employee Attitudes, Behaviors, And Performance. Journal Of Human Resources Development Quarterly, 22 (2), 127-152.
Luthans, F. (2002). The need for and meaning of positive organizational behavior. Journal of Organizational Behavior, 23, 695–706.
Luthans, F., Avolio, B. J., Walumbwa, F. O., & Li, W. (2005). The Psychological Capital of Chinese Workers: Exploring the Relationship with Performance.  Journal Of Management and Organization Review, 1 (2), 249–271.
Luthans, F., Avey, J. B, Avolio, B. J., Norman, S. M., & Combs, G. M. (2006). Psychological capital development: toward a micro-intervention. Journal of Organizational Behaviour, 27, 387–393.
Luthans, F., Norman, S. M, & Avolio, B. J., & Avey, J. B. (2008). The Mediating Role of Psychological Capital in the Supportive Organizational Climate – Employee Performance Relationship.  Journal of Organizational Behavior, 1-46.
Mortazavi, S., Yazdi, S. V., & Amini, A. (2012). The Role of the Psychological Capital on Quality of Work Life And organization performance.   Interdisciplinary Journal Of Contempory Research In Business4 (2), 206-217.



Coaching Sebagai Media Peningkatan Kualitas Kinerja Pada Karyawan

Coaching adalah proses pengarahan yang dilakukan atasan untuk melatih dan membantu bawahannya untuk mencapai kinerja yang maksimal.  Coaching merupakan model pendekatan yang dipakai ditempat kerja untuk meningkatkan manajemen kinerja.   Boulter, Dalziel & Jackie (2003) menuliskan mengenai pentingnya model coaching yang berkesinambungan memainkan peranan vital dalam peningkatan kinerja.  Model coaching yang terarah mengacu pada manajemen kinerja yang berbasis kompetensi.  Ukuran kompetensi tersebut yang dijadikan dimensi pengembangan SDM untuk mencapai high performer. 
Kegiatan ini akan sangat tepat diberikan kepada karyawan yang sedang menghadapi permasalahan dalam performa kerja atau karyawan yang membutuhkan intervensi khusus. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kualitas kinerja.  Coaching adalah pendampingan bagi mereka yang memiliki potensi besar agar dapat mengaktualisasikan dirinya menjadi pribadi prima.  Peran coaching menurut Boulter, Dalziel & Jackie (2003) diantaranya peningkatan faktor efektfitas organisasi yang mencakup kepemimpinan, fokus pencapaian, fokus pelanggan, kepedulian terhadap kualitas, mengembangkan orang-orang lain, dan mempengaruhi orang-orang lain.



Peran Manajer Dalam Kepemimpinan Tim

Kepemimpinan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas organisasi.  Gitosudarmo & Sudita (2000) mendefinisikan kepemimpinan sebagai suatu proses mempengaruhi aktivitas dari individu atau kelompok untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu. Peran pemimpin yang maksimal akan membawa pengaruh positif dalam dinamika organisasi.  Munandar (2001) menuliskan bahwa kepemimpinan merupakan sesuatu yang penting bagi manajer.  Para manajer merupakan pemimpin di dalam organisasinya mereka, sebaliknya pemimpin tidak perlu menjadi manajer.
Peran seorang manajer adalah melakukan manajerial organisasi ataupun tim.  Peran seorang manajer yang maksimal akan membawa pengaruh positif dalam pencapaian tujuan organisasi.  Manajer harus mampu menjalankan fungsinya dalam melakukan koordinasi dan keterlibatan timnya dalam porsi tugas dan tanggungjawabnya masing-masing.  Mampu menciptakan komunikasi efektif di dalam divisinya.  Mampu memberikan arahan dan motivasi untuk pencapaian target tim.  Seorang manajer dituntut mampu melakukan pemecahan masalah berkaitan dengan lingkup divisinya. 
Efektifitas dalam pemecahan masalah diperlukan kemampuan analitis yang baik.  Kemampuan analitis tersebut yang akan membantunya dalam mengidentifikasi permasalahan secara akurat.  Kemampuan analitis adalah kemampuan untuk mengungkapkan, melihat, memahami suatu permasalahan atau situasi tertentu dengan cara memecahkannya menjadi bagian-bagian yang lebih rinci.  Kemampuan menguraikan faktor-faktor penyebab, serta mampu mengamati keadaan tahap demi tahap uraian permasalahan tersebut berdasarkan pengalaman maupun pengetahuan yang dimiliki. 
Berpikir analitis merupakan rangkaian proses berpikir individu dalam mengenali uraian permasalahan secara mendalam yang tidak bisa terlepas dari kemampuan konseptual.  Dimana kemampuan konseptual yang dimaksud adalah kemampuan memahami permasalahan atau situasi tertentu dengan cara memandangnya sebagai satu kesatuan yang terdiri dari pola-pola permasalahan konseptual dan logis, termasuk kemampuan mengidentifikasi, pola keterkaitan antara masalah yang tidak tampak dengan jelas atau kemampuan mengidentifikasi permasalahan yang utama yang mendasar dalam situasi yang kompleks. 
Berpikir analitis merupakan rangkaian proses berpikir individu dalam menganalisa permasalahan.  Seseorang yang memiliki kemampuan analitis yang baik akan mempengaruhi efektifitas pemecahan masalah yang tepat.  Spencer & Spencer (1993) menyebutkan bahwa seseorang yang memiliki kemampuan analitis yang baik bisa dikatakan salah satu dimensinya memiliki kemampuan analisa sistematis termasuk thinking yourself, practical intelligence, analyzing problem, reasoning, dan planning skill.


Referensi:
Munandar, A. S. (2001). Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
Spencer, L & Spencer, S.  (1993). Competence At Work.  Canada: John Wiley & Sons, Inc.



Pemberian feedback dan konseling karir untuk meningkatkan motivasi pencapaian karir dalam kepemimpinan.

Motivasi kerja yang menurun tentu saja akan mempengaruhi produktivitas dalam bekerja  Dukungan terhadap motivasi kerja yang dimiliki karyawan yang berada di bawah kurva normal kinerja dimaksudkan untuk memberikan dukungan terhadap motivasi kepemimpinan yang dimiliki.  Motivasi kepemimpinan yang dimaksud adalah sebagai bentuk motivasi pencapaian karir untuk level leader.   Motivasi kepemimpinan diberikan kepada karyawan tersebut sebagai bentuk intervensi untuk pengembangan karirnya di masa mendatang.  Intervensi motivasi kepemimpinan dapat diberikan secara praktis dalam rancangan  feedback dan career counseling.
Terdapat beberapa alasan mengapa konseling harus dilakukan, terutama oleh atasan. Pertama, seorang atasan yang paling berkepentingan terhadap performansi anak buah. Kedua, seorang atasanlah yang dianggap paling tahu mengenai dinamika psikologis anak buah berkaitan dengan pelaksanaan tugas. Ketiga, kegiatan konseling juga dapat dimanfaatkan oleh atasan bukan saja hanya untuk tujuan kuratif, tetapi juga dapat digunakan untuk tujuan pengembangan bawahan. Misalnya untuk memotivasi bawahan agar dapat berprestasi lebih baik atau untuk menciptakan suasana psikologis yang kondusif agar bawahan betah. 
Manajer sebagai konselor perlu pula membatasi diri, dalam artian memahami benar kapan suatu proses konseling perlu diarahkan ke bantuan secara profesional. Ketidakmampuan untuk mendeteksi kebutuhan ini atau penundaan terhadap kebutuhan proffesional help akan secara signifikan merugikan pengembangan anak buah dan dapat menimbulkan dampak negatif bagi perusahaan.
Model rekomendasi pengembangan potensi diatas dapat diterapkan sesuai dengan model yang dituliskan oleh Boulter, dkk (2003) dengan cara:
  1. Pengakuan kompetensi
  2. Memahami kompetensi
  3. Bereksperimen dengan mendemosonstrasikan kompetensi
  4. Berpraktik menggunakan kompetensi
  5. Menerapkan kompetensi dalam situasi-situasi kerja dan dalam konteks karakteristik – karakteristik lain.


Referensi:
Boulter, Murray and Lackrey.  2003.  People and Competencies.  Terjemahan.   Jakarta: Gramedia.

Manajemen Karir Karyawan Di Tempat Kerja

Salah satu fungsi Human Resources (HR) adalah pengembangan karyawan.  Pengembangan karyawan yang dimaksud adalah suatu proses perencanaan dan pengembangan kompetensi karyawan secara sistematis sesuai dengan jenjang kualifikasi jabatan didalam organisasi perusahaan. 
Model aplikasi pengembangan karyawan yang diterapkan di perusahaan-perusahaan adalah sistem manajemen karir (career management system).  Sistem manajemen karir adalah suatu rangkaian atau urutan posisi jabatan yang mungkin akan dipegang seorang karyawan selama masa kerja di suatu perusahaan.  Sistem manajemen karir bertujuan untuk memberikan dorongan atau keyakinan seseorang untuk mengarahkan diri (untuk suatu posisi/jabatan) selama perjalanan  kehidupan kerjanya. 
Karir merupakan salah satu tujuan penting yang ingin dicapai oleh seorang karyawan.  Johanes (2002) dalam bukunya menuliskan bahwa tujuan hidup yang dikejar banyak orang adalah sukses dalam kerja & bisnis.  Fokus utamanya berupa mendapatkan promosi jenjang karir di level manajemen dengan imbalan gaji yang besar.  Karir menjadi prioritas utama ketika seorang karyawan mulai merasa nyaman dalam bekerja di suatu perusahaan.  Kondisi ini adalah ketika seorang karyawan mampu melakukan adaptasi, produktif, loyal, komitmen, serta adanya kesesuaian pemenuhan hak dan kewajiban dalam pengupahan
Motivasi pencapaian karir merupakan bagian terpenting didalam individu untuk menunjukkan kinerja maksimal.  Mathis & Jackson (2001) mengungkapkan bahwa motivasi merupakan hasrat di dalam diri seseorang yang menyebabkan orang tersebut melakukan tindakkan.  Motivasi merupakan penggerak yang mengaahkan tujuan. Motivasi karir adalah hasrat untuk mencapai level karir yang diinginknan seorang karyawan.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesuksesan karir seseorang.  Diantaranya seperti kompetensi, kemampuan skill, produktivitas, motivasi, karakter, sikap kerja, relasi, komitmen dan loyalitas. Akan tetapi ketika seseorang yang memiliki kemampuan yang seperti dituliskan tersebut diatas ternyata menunjukan kinerja yang baik disuatu perusahaan, sedangkan perusahaan tidak memberikan fasilitas jenjang karir yang sistematis, tentu saja keadaan seseorang tersebut tidak akan adanya perubahan yang signifikan dalam peningkatan derajat jabatannya.  Berbeda ketika seseorang tersebut bekerja disuatu perusahaan dengan sistem karir yang sistematis dan kompetitif dari level bawah sampai level puncak, maka secara otomatis seseorang tersebut akan merasa terpacu untuk bekerja giat guna meningkatkan derajat kerja yang lebih baik.  Kondisi inilah yang kemudian tidak membuat seorang karyawan untuk memutuskan pindah dari sebuah perusahaan ke perusahaan lainnya hanya karena posisi/jabatan yang lebih menjanjikan. 
Faktor-faktor internal dalam diri karyawan yang dapat mempengaruhi pencapaian karir, diantaranya: 
  1.   Manajerial Competence
  2.  Fungsional Competence
  3.  Security
  4. Creativity
  5. Autonomy and independence
Referensi:
Boulter, Dalziel & Jackie. (2003).  People and Competencies.  Terjemahan.   Jakarta: Gramedia.


Johanes, L. (2002). Strategi Sukses Mengelola Karir Dan Bisnis. Jakarta: PT Gramedia Utama

Mathis, R. & Jackson, J. (2001).  Manajemen Sumber Daya Manusia.  Jakarta: Salemba Empat.

Promosi Sebagai Media Pengembangan Karir Karyawan Di Tempat Kerja

Pengembangan SDM di perusahaan tidak lepas dengan pengembangan kompetensi para karyawannya.  Pengembangan kompetensi tersebut haruslah dibarengi dengan sistem pengembangan level jabatan.   Model aplikasi pengembangan karyawan tersebut yang diterapkan di perusahaan-perusahaan adalah sistem manajemen karir (career management system).  Sistem manajemen karir adalah suatu rangkaian atau urutan posisi jabatan yang mungkin akan dipegang seorang karyawan selama masa kerja di suatu perusahaan.  Sistem manajemen karir bertujuan untuk memberikan dorongan atau keyakinan seseorang untuk mengarahkan diri (untuk suatu posisi/jabatan) selama perjalanan  kehidupan kerjanya.  
Proses pengembangan karir dilakukan oleh perusahaan melalui media proses promosi.  Promosi merupakan kesempatan yang diberikan oleh perusahaan kepada karyawannya untuk meningkatkan karirnya sesuai dengan kualifikasi yang dituntut.  Dinamika promosi yang diberikan sebagai langkah moral dalam memotivasi karyawannya untuk berprestasi.  Masing-masing perusahaan memiliki struktur jenjang karir yang bertingkat.  Jenjang  karir tersebut bergerak mulai level staf, kepala seksi, manager dan tidak menutup kemungkinan sampai level direksi.  Hal ini memperjelas pentingnya suatu promosi untuk karyawan dalam meningkatkan kompetensi di tempat kerja

Belajar Merancang Kompetensi Jabatan


Kita sering mendengar istilah kata kompetensi dalam dunia kerja.  Terlebih kaitannya didalam human resources management system.  
Kompetensi menjadi unsur penting dalam konsep pengembangan SDM.  Kompetensi berkaitan dengan pengetahuan, ketrampilan serta perilaku apa yang perlu dimiliki oleh karyawan di masing-masing jabatannya.  Idealnya pada masing-masing level jabatan didalam organisasi harus memiliki standar kompetensi.

Perlunya kebutuhan standar kompetensi dalam  pekerjaan adalah berupa ukuran kemampuan atau skill yang harus dimiliki oleh karyawan sesuai dengan uraian deskripsi pekerjaannya.  Ukuran kompetensi tersebut sangat penting yang nantinya dapat berpengaruh pada kebutuhan pengembangan SDM mencakup  promosi, kebutuhan pelatihan, standar seleksi, penilaian kinerja serta sistem reward.  Sistem kompetensi menjadi kebutuhan mendasar bagi manajemen dalam pengarahan dan pengembangan karyawan.  Ditambahkan pula dengan adanya kebutuhan untuk penyusunan sistem kompetensi maka manajemen dapat menentukan standar kriteria untuk proses seleksi dan penilaian kerja.

Boulter dkk (2003) mendefinisikan kompetensi sebagai suatu karakteristik dasar dari seseorang yang memungkinnya memberikan kinerja unggul dalam pekerjaan, peran, atau situasi tertentu.  Kompetensi merupakan dimensi yang dapat dijadikan indikator dalam efektifitas kinerja seseorang didalam organisasi.  Spencer dan Spencer (1993) mendefinisikan kompetensi sebagai “an underlying characteristic's of an individual which is causally related to criterion-referenced effective and or superior performance in job or situation"Underlying characteristic bermakna kompetensi adalah suatu bagian kepribadian seseorang yang cukup dalam dan relatif menetap serta dapat memprediksi perilaku dalam beragam situasi dan tugas-tugas jabatan. Casually related berarti bahwa sebuah kompetensi menyebabkan atau memprediksi perilaku atau kinerja seseorang

Mathis dan Jackson (2000) menuliskan bahwa salah satu faktor penting dalam sistem manajemen sumber daya manusia agar dapat membangun sistem yang sesuai untuk mencapai kinerja perusahaan, dibutuhkan core kompetensi jabatan dan karyawannya.  Sistem kompetensi merupakan substansi penting dalam kerangka dasar HR (Human Resources).  Hal ini menjadi tolak ukur dasar dalam sistem seleksi, promosi, dan penilaian kinerja, serta perencanaan dan keefektifan pelatihan karyawan.  Dengan adanya model kompetensi akan membantu peran fungsi dari pengembangan SDM yang terarah dalam peningkatan performa organisasi. 

Spencer dan Spencer (1993) menguraikan 5 (lima) karakteristik kompetensi untuk dapat dijadikan model mencakup:  
  1. Motives, yaitu karakteristik tentang suatu hal atau keinginan yang menyebabkan suatu tindakan.  Dicontohkan seperti dorongan berprestasi yang merupakan motivasi seseorang secara konsisten sebagai serangkaian tantangan.
  2. Traits, yaitu karakteristik fisik, psikis, dapat berupa respon tehadap situasi atau informasi.  Dicontohkan kontrol diri terhadap emosi.
  3. Self-Concept, yaitu sikap individu, nilai-nilai, atau gambaran diri.  Dicontohkan kepercayaan diri menggambarkan keyakinan diri seseorang bahwa dia dapat melakukan untuk berbagai situasi.
  4. Knowledge, yaitu berupa informasi yang dimiliki seseorang secara khusus di dalam bidang tertentu.
  5. Skill, yaitu kemampuan yang ditunjukan untuk performa tugas baik fisik maupun mental.


Model kompetensi didalam sebuah organisasi, dirancang sebagai suatu rangkaian kompetensi yang penting bagi kinerja yang superior dari sebuah pekerjaan atau sekelompok pekerjaan atau jabatan pekerjaan. Model kompetensi ini memberikan sebuah peta yang membantu seseorang memahami cara terbaik dalam mencapai keberhasilan dalam suatu pekerjaan atau jabatan tertentu atau memahami cara mengatasi suatu situasi tertentu.

Perancangan model kompetensi dapat dilakukan secara metodologis menggunakan metode asesmen yang valid.  Boulter dkk (2003) menguraikan 6 (enam) tahapan dalam mendefinisikan (perancangan) model kompetensi untuk pekerjaan tertentu, diantaranya:
1.      Menjelaskan kriteria kinerja
2.      Mengidentifikasikan orang-orang untuk sampel-sampel kriteria
3.      Mengumpulkan data melalui metode asesmen
4.      Menganalisis data dan mendefinisikan kompetensi-kompetensi
5.      Mensahkan model
6.      Mendesain aplikasi-aplikasinya.



contoh perancangan kompetensi














Referensi
Boulter, Dalziel & Jackie. (2003).  People and Competencies.  Terjemahan.   Jakarta: Gramedia.
Mathis, R. & Jackson, J. (2000).  Manajemen Sumber Daya Manusia.  Jakarta: Salemba Empat.
Spencer, L. & Spencer, S.  (1993). Competence At Work.  Canada: John Wiley & Sons, Inc.